Indikator Menghitung Garis Kemiskinan di Indonesia

Direktur Eksekutif Megawati Institute, Arif Budimanta menilai, metode basic needs approach yang dipakai Badan Pusat Statistik (BPS) untuk menghitung angka kemiskinan di Indonesia masih menyisakan tanda tanya di masyarakat. Hal ini dikatakan Arif, dalam diskusi ‘Konsep Garis Kemiskinan Berlandaskan Konstitusi dan Cita-Cita Pendiri Bangsa di Hotel Mercure, Sabang, Jakarta Pusat, Kamis (15/8/2019). “Kemiskinan sejauh ini dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur menurut garis kemiskinan,” kata Arif. Sementara itu menurut Arif, dalam konstitusi kehidupan yang layak diatur dalam empat pasal yakni Pasal 27 Ayat 2, Pasal 28 A, Pasal 28 c Ayat 1 dan Pasal 31 ayat 1. Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) itu menegaskan, melihat pasal-pasal tersebut secara terang menyebutkan, setiap orang berhak atas pekerjaan, pemenuhan kebutuhan dasaranya serta berhak hidup dan mempertahankan kehidupannya. “Para pendiri bangsa juga pernah mengkritik statistik kemiskinan yang dikeluarkan pemerintah Hindia-Belanda. Kritik itu dianggap tidak sesuai dengan gambaran kehidupan yang layak bagi rakyat,” ucapnya. Sejalan dengan Arief, peneliti Sigma Phi, Muhammad Islam menilai, perlu ada perubahan konsep penghitungan tingkat kemiskinan dari konsep saat ini yang menggunakan basic needs menjadi basic right.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *